Bila kita membicarakan nias maka langsung pikiran kita akan membayangkan seorang pria berpakaian adat setempat sedang melayang di atas seonggok batu yang disusun setinggi lebih dari 2 meter. Atraksi lompat batu atau fahombo merupakan sebuah andalan pariwisata dari pulau nias. Membicarakan hal ini mau tidak mau kita harus kembali kepada sejarah panjang perjalanan budaya masyarakat nias.
Berabad-abad lampau, pulau nias yang terletak di sebelah barat Sumatera, terdiri dari beberapa wilayah yang diperintah oleh para landlord atau panglima-panglima perang sebagai bangsawan tinggi, Kedudukan bangsawan itu bukan kedudukan turun temurun, kedudukan itu mereka dapatkan dengan menyelenggarakan pesta menjamu masyarakat atau owasa. Maka semakin sering mereka menyelenggarakan owasa maka semakin kekal dan tinggi pula kedudukan mereka di mata masyarakat, dan biaya mengadakan pesta pesta mereka dapatkan dari hasil jarahan perang.
Untuk memenangkan peperangan bangsawan-bangsawan tersebut memerlukan dukungan pasukan yang kuat, sehingga pada waktu tertentu mereka membuka kesempatan kepada pria-pria muda untuk menjadi prajurit. Bagi kaum pria menjadi prajurit atau anggota pasukan pertahanan merupakan sebuah kehormatan, dengan penghasilan yang lebih bagus dari masyarakat biasa dan membuka kesempatan kelak bila nasib baik menjadikan mereka seorang bangsawan, mencapai kedudukan yang mulia pula.
Menentukan pantas tidaknya seorang pria menjadi seorang prajurit, tidak hanya ditentukan oleh kemampuan standard, bentuk fisik atau sekedar ilmu bela diri dan ilmu-ilmu hitam, tetapi penentuan akhir, mereka diuji harus dapat melompati sebuah susunan batu setinggi 2,3 m, tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun.
Pada masa-masa yang silam, acara seleksi ini diselenggarakan secara khusus dan berlangsung begitu meriah, seolah-seolah sebuah festival, orang berduyun-duyun datang dari jauh sekalipun untuk menyaksikan pria-pria muda saling menunjukan kebolehannya melompati batu dan berusaha menjadi yang paling baik. Bagi para gadis acara ini merupakan arena memuja dan memuji pria-pria idaman dan juga sebaliknya, bagi para pria yang lulus uji segera saja menjadi idola gadis-gadis. Bagi yang sudah mempunyai calon, segera saja ia meminang pilihannya, yang masih jomblo mempunyai kans besar mendapat calon istri. Sehingga fahombo akhirnya bergeser maknanya, seolah-olah menyiratkan siapa yang berhasil melompati susunan batu tersebut layak disebut dewasa dan pantas menikah.
Kini fahombo menjadi sebuah atraksi pariwisata dan tidak saja dilakukan pria muda, pria tua bahkan yang renta sekalipun boleh melompatinya. Fahombo juga tidak lagi menjadi ajang pemilihan pria idaman para gadis, mereka lebih memilih pria pujaan yang mempunyai mobil, motor atau setidaknya menjadi pegawai negeri atau punya motor bebek.
You need to be a member of Living Wellness to add comments!
Join Living Wellness